Advertise Your Business Here

Wednesday, July 14, 2010

Main Dengan Sepupu Sendiri

Follow m_syahreza on Twitter

Kain Ratih tersingkap hingga menampakkan pahanya yang mulus, putih bersih. Tubuhnya basah seperti habis mandi. Dia sudah tidak peduli dengan keadaannya sekarang walau pun sesekali dia mengawasi keadaan sekitarnya, takut-takut ada orang yang mengintipnya sedang dalam keadaan setengah telanjang seperti ini.

Tanpa diduga-duga, tiba-tiba sosok Mbak Ningsih sudah ada di belakangnya. Langsung menyerbunya dengan membabi-buta, seolah tidak rela melepaskan Ratih yang terkejut setengah mati atas kelakukan kakak sepupunya itu. Tangan Mbak Ningsih gesit, dari sela-sela tubuh Ratih dia sudah bisa mengendalikan permainan. Sungguh lihai tangan Mbak Ningsih meremas dan memilin, sesekali dengan tenaga yang kuat hingga Ratih berteriak di luar kendali. Teriakan Ratih malah membuat Mbak Ningsih semakin nekat untuk berbuat lebih. Dibawah kucuran air,
Mbak Ningsih terus mencari-cari letak sesuatu yang tersembunyi yang bahkan Ratih pun tidak tahu di mana letaknya. Saat Mbak Ningsih menghentikan tangannya yang bergerilya di bawah sana, Ratih turut menahan nafasnya, menunggu apa yang akan diperlakukan Mbak Ningsih terhadap dirinya. Sepertinya Ratih sudah terlanjur menikmati semua ini. Rasa letihnya meski berangsur-angsur berkurang, tapi tidak terlihat jelas kepuasan di matanya. Ratih merasa kurang. Dia ingin lebih dari Mbak Ratih.

Ditariknya tangan Mbak Ningsih ke tempat yang semula tadi, seketika senyuman merekah dari bibir kecil Ratih. Wajahnya berbinar sumringah bersamaan dengan suara-suara nakal Ratih, terlebih waktu Mbak Ningsih menunjukkan noda spidol di kentong kemeja suaminya, Mas Danang.

“Ini lho, Tih, nodanya. Masa’ dari tadi kamu tidak melihatnya?” Mbak Ningsih beranjak dari tempatnya.

“Iya, Mbak, Aku tidak melihat, aku pikir sudah bersih semua,” sahut Ratih sambil tersipu malu.

“Iya, tidak apa-apa. Kamu selesaikan lagi mencucinya, habis itu keringkan dan jemur di belakang ya, Tih.”

Ratih mengangguk sambil mengulum senyumnya yang manis. Tangannya kembali mengucek kemeja putih yang ada noda spidol di bagian sakunya itu.

*jha2010

Rengkuhan Mas Danang

Follow m_syahreza on Twitter

Angin malam yang dingin menusuk tulang tidak menyurutkan gelora Ratih yang sudah menggebu-gebu. Nafas Ratih terengah-engah, di bawah kekuasaan sorot mata yang berkilat penuh nafsu Mas Danang, Ratih dengan wajah menggodanya membuka satu per satu kancing kebaya tipisnya yang sudah dibasahi keringat.

Mas Danang pun tidak kalah bernafsu. Dipegang erat pundak Ratih, mencengkeram penuh tenaga. Dengan sedikit memaksa Ratih membawanya ke ranjang. Mas Danang membantu melepas kebaya Ratih dengan agak kasar, dilemparnya kebaya biru Ratih ke atas lantai. Nafas mas Danang pun jadi semakin cepat. Dorongan dalam dirinya begitu besar, hingga ia seperti hilang kendali. Tubuh Ratih dicengkeram kuat dengan tangannya yang berotot itu. Dia semakin terbakar, sekujur tubuhnya kini juga bermandikan keringat. Pantulan cahaya lampu di luar kamar yang redup, membuat tubuh kekarnya berkilau menggairahkan. Darahnya berdesir cepat tiap kali melakukan gerakan-gerakan erotis itu terhadap Ratih.

Diperlakukan demikian, Ratih semakin keblingsatan. Ratih merintih kesakitan, tapi tidak berapa lama rintihannya berubah menjadi desahan nikmat. Ratih melenguh dengan suara manja khasnya itu, yang membuat Mas Danang semakin keras meneruskan permainannya. Dari bibir mungil Ratih yang berwarna merah mudah keluar erangan pasrah atas perlakuan Mas Danang.
Tubuh Ratih menggelinjang hebat, meliuk-liuk seperti ular dalam rengkuhan pria berkumis tipis itu. Sesekali dia menggit bibirnya, menahan rasa sakit.

“Sudah, Mas. Aku sudah tidak kuat lagi,” desah Ratih disela-sela nafasnya yang basah.

“Sebentar lagi, Ratih. Tahan ya, sedikit lagi,” bisik Mas Danang lembut di telinga Ratih.

“Tapi, Mas…” Ratih menutup matanya, manahan rasa sakit akibat permainan Mas Danang. “Aku… Aku… sudah merasa enakan, kok.”

Mas Danang menyudahi permainannya. “Kamu yakin, Ratih, sudah hilang masuk anginnya?”

Ratih mengangguk lemas. Senyum manisnya mengembang. “Mas Danang memang hebat. Besok-besok kalau aku masuk angin, Mas Danang kerok aku lagi ya?”

“Iya, Ratih.”

“Terima kasih, Mas Danang.”

*jha2010

Friday, July 2, 2010

Semua ‘Gara-gara Memperpanjang STNK’

Follow m_syahreza on Twitter


“... kemana aja, saya mau anter A' Ghaza. Kapan aja Aa butuh ditemenin, saya bersedia. Tapi jangan minta saya untuk suka sama perjalanan nasib saya yang sekarang baru ditemuin sama Aa..."


"Kalo gitu, ini kesalahan saya yang paling fatal, Pak. Terlalu jujur soal perasaan saya ke Bapak..."

Kutipan di atas diambil dari cerita panjang yang gue tulis tahun lalu dan di posting di sebuah forum komunitas yang judulnya “Gara-Gara Memperpanjang STNK (Inspired by True Event)”. Well, sebenernya yang melatari gue nulis cerita itu berangkat dari tantangan pribadi untuk menguji kemampuan menulis gue, di luar kebiasaan dan gaya nulis gue yang biasanya. Sebuah cerita bersambung, kisah percintaan sederhana aja sebenernya yang sedikit dibumbui gaya nakal ala stensilan berlatar sebuah tempat di pesisir Kabupaten Lebak-Banten.
Sejujurnya, enggak pernah sekali pun berharap cerita yang gue buat itu akan diminati dan dapet sambutan sedemikian di luar perkiraannya. Pertama posting aja banyak yang komentar-komentarnya bikin gue down dan enggak bersemangat nerusin ceritanya.

“Gara-gara Memperpanjang STNK” ini enggak bisa dikatakan sebagai kisah nyata atau diangkat berdasarkan pengalaman nyata penulisnya. Makanya, gue kasih penjelasan di belakang judulnya, “Inspired by True Event”, yang kira-kira maksud gue adalah bahwa cerita yang gue tulis ini merupakan perkawinan antara beberapa kejadian nyata yang bisa jadi satu sama lain enggak berhubungan tapi masih sejalan dari sudut pandang tema dengan imajinasi gue sendiri. Tokoh-tokohnya real, tapi waktu dan setting kejadian mengalami penyesuaian demi memenuhi tuntutan etika dan estetika penulisan. Mungkin itu dia sebabnya, kenapa gue dibilang lebay dan dianggap mengada-ada. Padahal sebenernya udah gue jelasin di pertengahan postingan cerita gue itu sebagai bentuk dari klarifikasi bahwa ada perbedaan antara ‘based on true story’ dengan ‘inspired by true event’, tapi masih aja masuk komentar-komentar sumbang entah itu dari forum langsung, tweet atau DM di Twitter. It’s okay, menurut gue itu merupakan kritikan membangun supaya gue jadi lebih baik lagi ke depannya. Tapi herannya, walaupun banyak yang berkomentar sumir, total ‘view’ thread gue justru tertinggi dibandingin cerita-cerita lain dan sampe gue posting blog ini belom ada yang menggeser posisi “Gara-gara Memperpanjang STNK”.

Ada yang lebih menyenangkan gue dari pengalaman posting cerita yang gue bikin itu di forum dari sekadar total ‘view’ tertinggi tersebut, yaitu gue nambah temen-temen baru yang baik, seru dan asyik-asyik. Honestly, tanpa mereka yang mengapresiasi karya gue, mungkin gue udah drop dan enggak bersemangat nulis cerita lagi. Mereka yang selalu menyemangati gue untuk terus berkarya, nulis dan nulis lagi. Dan mungkin untuk sementara, tulisan yang gue buat enggak kayak “STNK” lagi karena masih disibukkan dengan urusan-urusan lain. Paling-paling gue masih nulis di ‘notes’ Facebook, nge-tweet yang seru-seru, nge-blog atau update status yang sekiranya masih bisa dinikmatin lah sama mereka, penyemangat gue itu. Sebenernya, gue udah mempersiapkan cerita baru yang judulnya “Merah Muda Ibukota”. Pertama kali diposting, responnya lumayan positif, tapi sayang cerita ini memerlukan riset segala, jadinya gue belom berani posting lagi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, “Merah Muda Ibukota” udah bisa dipublish.

Satu lagi yang enggak gue sangka-sangka gara-gara si-STNK ini adalah ternyata cerita STNK ini bersama-sama dengan Merah Muda Ibukota, Meunasah Asmara dan Simulacrum akan dimasukin ke dalam sekuel novel “Siléncio Absoluto” yang insya Allah bisa cepet-cepet dicetak dan diterbitin ke pasaran. *Doanya, ya…*

Di samping itu, STNK jujur aja udah mengubah banyak hal dalam hidup gue. Tokoh-tokoh yang ada di dalamnya pun dalam kesehariannya mengalami perubahan juga. Yah, itulah hidup, senantiasa berubah. Harapannya, perubahan apa pun itu semoga perubahan ke arah yang lebih baik.

Ada yang lucu gara-gara gue nulis tentang STNK ini. Banyak pembaca yang tergila-gila sama beberapa tokoh di dalam cerita, bahkan ada yang sampe minta dikasih liat fotonya segala. Gue sampe kelimpungan juga nurutin permintaan para pembaca tersebut yang membanjiri Twitter gue. Akhirnya ada lah itu satu orang yang jadi favorit pembaca yang gue paksa untuk bikin akun di Twitter juga supaya bisa memenuhi permintaan-permintaan penggemarnya. Sayangnya, mungkin karena kesibukannya yang luar biasa, dia enggak bisa sepenuhnya ngejawab pertanyaan dan permintaan orang-orang. Lagian gue kasian juga, gue yang bawa-bawa nama dia, eh malah dia yang enggak tau apa-apa jadi ikut-ikutan repot.

Anyway, apapun itu, di sini gue mau ucapin terima kasih sebanyak-banyaknya buat yang udah rela sempet-sempetin baca, kasih komentar, saran dan kritik serta apresiasinya. Dalam waktu dekat, mudah-mudahan “Gara-gara Memperpanjang STNK” versi PDF yang udah diedit dan pastinya lebih rapi ketikan dan gaya tulisannya, akan rampung dan segera dibagi-bagi secara gratisan sebagai bentuk ucapan terima kasih gue. Iya, sekaligus ‘teaser’ lah buat novel gue .

Special thanks to Edu, Haris, Yoga dan nama-nama lain yang enggak mungkin kali disebutin satu per satu. Pokoknya, you rock Guys! *jha2010

Think Freely, Speak Loudly and Act Respectably! (Part 1 – Islam Dan Semangat Liberalismenya)

Follow m_syahreza on Twitter
Sebelumnya saya mau mengatakan apa yang melatari penulisan tulisan singkat ini. Bahwa pada hakikatnya, siapa saja yang menghendaki hatinya berkata jujur pasti akan membawa dirinya senantiasa berpihak pada kebenaran dan kebaikan. Dan sejatinya, hanya akal yang masih sehat sajalah yang mampu membuat hati dapat berkata jujur. Sejujurnya saya pastikan, akal sehat hanya akan hadir apabila ia dibiarkan berkelana mencari jati diri kebenaran sebebas-bebasnya tanpa kungkungan yang membatasi dan mengerdilkan. Inilah titik tolak saya menulis tulisan ini yang membuat saya senantiasa bergairah menyuarakan apa yang menurut saya benar dan berguna.

Berangkat dari sebuah status di Facebook yang saya update karena diinspirasi oleh isi tweet seorang intelektual muslim muda di Twitter pada suatu malam yang kemudian mendapat respon cukup menggelitik dari seorang sahabat perempuan saya yang dengan kritis menyentil idealisme pemikiran saya selama ini.

Kira-kira begini isi status saya tersebut:
“…Negara ini melindungi kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan berideologi. Tapi tidak untuk tindakan KEKERASAN. Negara harus tegas menindak perilaku buruk ormas yang melegalkan kekerasan sebagai gerakannya!!”

Dan berikut komentar sahabat saya itu:
“…Mohon maaf, menurut saya jauh lebih mencoreng Islam liberal dibanding FPI. Liberal merusak otak anda menjadi anti Quran.”

Lalu kenapa saya bilang cukup menggelitik, karena setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menjadi perhatian saya dari komentarnya tersebut sehingga saya berpikir untuk menelaahnya lebih lanjut. Pertama, mungkin sahabat saya itu hendak mengatakan bahwa pemikiran ala liberalisme patut diwaspadai dan dianggap lebih berbahaya dibanding tindakan anarkis yang dilakukan ormas sejenis FPI tetapi sayangnya tidak disertai alasan dan argumentasi serta bukti yang kuat-akurat, mungkin dikarenakan keterbatasan yang dimiliki Facebook. Kedua, sahabat saya itu telah keliru memahami bahwa dalam Liberalisme itu sendiri terdapat setidaknya 2 (dua) aliran yang berbeda dilihat dari konteks pemikirannya. Ada pemikiran pembebasan dan ada pemikiran kebebasan. Dan, lagi-lagi sayangnya, sahabat saya itu memukul rata paham yang sejatinya liberalisme itu menyemangati setiap sendi nilai-nilai keberagamaan. Lalu yang ketiga, sahabat perempuan saya tersebut mungkin lupa akan 2 (dua) hal untuk kembali menelaah nilai-nilai kandungan isi Quran dan mencari tahu lebih banyak lagi mengenai paham liberal khususnya Liberalisme Islam.

Pada konteks ini, dari awal saya menekankan isu KEKERASAN yang kerap terjadi belakangan ini, yang ironisnya hampir semua berlatar ideologi keagamaan. Untuk segala macam alasan, Kekerasan dan Anarkisme tidak pernah mendapatkan tempat di tengah-tengah perikehidupan bangsa dan masyarakat di mana pun. Ia tidak dapat diterima dan tidak pernah dapat diterima oleh akal sehat. Kekerasan hanya akan menimbulkan kerugian dan kemudharatan semata. Dan saya sungguh meyakini, tidak ada satu pun ayat di Quran yang menganjurkan umat manusia untuk berbuat pengrusakan dan anarkisme untuk apa pun alasannya. Justru Islam hadir untuk menjadi solusi dan bukan persoalan, apalagi menjadi menjadi bagian dari pengrusakan tersebut. Konsep keberagamaan dalam Islam jelas, yakni menjadi agama yang Rahmatan Lil ‘alamiin atau ‘blessing for all’ dalam bahasa awam yang mudah saya pahami.

Konsep Islam yang indah ini yang justru dilabrak habis-habisan oleh (oknum) FPI dalam hampir setiap pergerakannya. Islam menjadi tidak elok lagi bila sudah digunakan oleh FPI dalam menjalankan aksi-aksinya yang cenderung brutal dan kurang bersahabat. Citra Islam jadi tercoreng. Sudahlah Islam dianggap agama terorisme, ditambah lagi dengan perangai yang ditampakkan FPI, sungguh apa lagi yang hendak dibanggakan dari agama Islam yang hakikatnya indah dan cinta damai ini?

Yang dikatakan sahabat saya tersebut membuat saya merenung dan kembali mengkritisi idealisme saya terhadap pola berpikir saya selama ini. Jangan-jangan saya sudah terjebak pada pola pemikiran yang salah dan otak saya telah benar-benar rusak. Terlebih saya khawatir komentar sahabat saya itu benar karena saya sudah anti Quran. Perenungan saya menggiring pada realita masyarakat kita. Saya bercermin pada realitas dan di sana saya mendapat jawabannya.

Mereka yang anti liberalisme cenderung menolak dianggap konservatif, fundamentalis apalagi anti-progresifitas. Mereka lebih menyukai disebut moderat. Tapi bukan itu persoalannya. Karena memang setiap orang berhak berdiri di posisi apa pun yang menurutnya benar. Yang justru jadi persoalan adalah saat orang-orang yang beraliran konservatif dalam pemikirannya ini tidak sesuai dengan dengan semangat kekonservatifannya. Dari realitas ini saja bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat kita sedang ragu dalam menentukan identitasnya, labil dan inkonsisten. Satu contoh sederhana saja misalnya saat seseorang yang berdiri di pihak konservatif memilih untuk berpacaran dengan dalih tidak apa-apa sepanjang pacarannya tahu batasan dan tidak melanggar aturan. Padahal, orang tersebut sesungguhnya sudah menjadi liberalis tanpa dia sadari dan dipertanyakan kekonservatifan pemikirannya karena sesungguhnya dia telah ber-ijtihad untuk dirinya sendiri. Kita semua tahu, dalam ajaran Islam tidak mengenal istilah pacaran, kan?

Kalau kita memandang Liberalisme dari sudut pandang Quran, sebenarnya itu justru akan memudahkan kita dalam memahami nilai Islam yang sesungguhnya. Liberalisme tidak anti terhadap Quran. Justru semua pemikiran yang terlahir dari paham liberalisme bersemangatkan keislaman dan sama sekali tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah nabi karena memang ajaran Islam sendiri sangat membuka lebar-lebar umatnya untuk mengoptimalkan fungsi akal sehat dan hati nurani untuk bekerja mencari kebenarannya sendiri-sendiri. Liberalisme Islam sangat menentang segala bentuk kekerasan, anarkisme dan intimidasi. Setiap orang dihargai dan dijamin kebebasannya dalam memilih dan menentukan apa yang diyakininya benar selama itu mendatangkan kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Ini jelas-jelas sejalan dengan ajaran Islam.

Liberalisme tidak pernah memelintir apalagi anti terhadap Quran, tetapi justru yang dilakukan adalah menafsir ulang kandungan Quran. Zaman berubah dan terus berubah, kalau pandangan mengenai agama tidak ikut disesuaikan, manusia hanya akan jadi makhluk usang yang terpojok dilindas zaman. Lagipula, kalau memang pemikiran liberalisme merusak otak, toh apa salahnya? Yang rusak itu kan otak sendiri, dan hal ini tentu tidak merugikan orang lain. Berbeda dengan apa yang dilakukan FPI. Mereka merusak tatanan sosial kemasyarakatan, dan banyak orang yang merugi akibat tindakannya itu. Mana yang lebih sejalan dengan ajaran Islam kalau begitu?

Maka dari itu saya menutup tulisan ini dengan satu harapan, semoga kelak di kemudian hari umat manusia semakin cerdas dalam memandang persoalan, jernih dalam menimbang dan mengambil keputusan agar tidak ada pihak yang tersakiti dan dirugikan. Untuk itu diperlukan cara berpikir yang tidak terpenjara agar bijaksana dalam melangkah dan berbicara, semangat menyuarakan kebenaran dengan suara lantang dan berperilaku beradab dengan menghormati orang lain terlebih dahulu, tidak menyakitinya serta menempatkan kepentingan bersama di atas segala-galanya. Saya meyakini satu hal, Islam dan semangat liberalismenya dapat menjadi solusi atas persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Be liberal, in a good way of course…!

Be Wise, People! *jha2010

Wednesday, June 30, 2010

Drama Kehidupan

Follow m_syahreza on Twitter
Setiap orang memainkan perannya sendiri-sendiri dalam drama di kehidupannya. Dan seperti biasanya hanya ada dua peran yang selalu diingat sama penonton. Peran antagonis dan protagonis. Dan hanya ada dua juga pemeran yang biasanya selalu diperhatikan dan jadi sorotan khalayak. Pemeran Terbaik dan Pemain Terburuk.

So, peran apa pun yang elo mainkan dalam kehidupan, bermainlah secara total. Baik, baik sekalian. Buruk, buruk sekalian. Jangan tanggung-tanggung, haram ragu-ragu. Karena sebenernya dunia enggak pernah menyediakan tempat untuk orang yang setengah-setengah. *jha2010

Wednesday, June 23, 2010

Gara-gara Setali Tiga Duit

Follow m_syahreza on Twitter

Gue pernah suatu hari nge-tweet bahwa satu-satunya negeri paling demokratis di dunia ini ya Twitter. Elo bisa berkicau merdu atau sumbang di Twitter, terserah yang mana enaknya buat elo aja. Elo bisa berperan sebagai seorang politisi ulung, ngasih-ngasih komentar ini-itu soal kebijakan pemerintah atau mengkritik abis-abisan orang-orang di parlemen. Elo juga bisa memainkan peran dalam “Mendadak Ustadz” yang isi tweet-nya petuah-petuah agama, nasehat, kutipan ayat-ayat dari kitab suci di Twitter. Dan kalo elo selebriti tapi kurang terkenal, elo bisa mengumumkan diri elo yang akan tampil di TV setengah jam lagi ke follower-follower elo dan meminta mereka untuk nonton acara elo di TV. Apa aja bisa di Twitter, termasuk menjadi anggota FPI. Lho, emangnya FPI punya akun di Twitter? Hmm, sejauh yang gue tau, yang ada di Twitter adalah parodinya ‘FPI beneran’ (selanjutnya, the real FPI) di dunia nyata. Inilah salah satu manifestasi sekaligus pembuktian dari bentuk ‘paling demokratis’ yang tadi gue sebutin di atas.

Singkat kata gue follow lah Twitter dari parodinya FPI ini yang bernama @FPIYeah. Pertimbangan awal kenapa gue follow @FPIYeah adalah karena gue perlu penyeimbang value atas realitas the real FPI di dunia nyata. Iseng-iseng dapet bacaan segar dan menggelitik, gue juga ngedapetin perspektif yang berbeda mengenai the real FPI yang sama-sama kita udah tau semua gimana sepak terkang ormas Islam satu ini yang identik dengan kekerasan dan destruksi. Gue ikutin terus tweet-tweetnya @FPIYeah ini. Tapi semakin lama gue jadi follower dari @FPIYeah, gue semakin jauh dari apa yang gue harapkan sebelumnya. Tadinya gue pikir gue akan mendapatkan ‘value moral’ yang menghibur sebagai bentuk sindiran untuk the real FPI, tapi kenyataannya enggak. Justru gue mengamati bahwa sebenernya @FPIYeah sama aja kayak the real FPI. Perbuatannya sama-sama destruktif dan sama-sama menebar kebencian, dengan caranya masing-masing, of course. Yang ngebedain antara kedua FPI ini adalah bentuk penghancurannya. Kalo the real FPI, penghancurannya berwujud dan secara fisik bisa diliat dengan kasat mata, sedangkan @FPIYeah lebih parah lagi soalnya yang diancurin enggak berwujud. Efeknya enggak langsung bisa diliat dengan kasat mata. Yang diserang @FPIYeah adalah pemikiran. Tweet-tweetnya gue nilai semakin nunjukkin kalo @FPIYeah sama aja dengan the real FPI. So, buat apa juga gue follow the destructor? Selain enggak bikin gue tambah cerdas, @FPIYeah enggak lebih dari the real FPI. Setali tiga duit lah. Lagian, @FPIYeah enggak sesuai dengan ekspektasi yang gue kira sebelumnya. Ternyata sama-sama perusak.

Iya, gue bukannya enggak tau kalo mereka (@FPIYeah) terang-terangan mengklaim sebagai Front Perusak Islam. Sayangnya gue salah mengira. Gue kira @FPIYeah akan berperan sebagai pengkritik dan sekaligus sebagai tandingan the real FPI, in a good and fun way. Enggak taunya malah lebih parah.

Gue jujur aja enggak suka sama kelakukan the real FPI yang suka ngehek dan lebay. Tapi gue juga gerah sama pergerakan @FPIYeah ini, makanya untung Twitter si negeri paling demokratis ini menyediakan fasilitas ‘unfollow’ yang sekali klik udah bikin hubungan gue sama si @FPIYeah ini putus. Kalo seandainya aja @FPIYeah ini memilih cara lain untuk mengkritik the real FPI dengan jalan yang lebih santun, kreatif dan menghibur, pasti sampe sekarang gue masih jadi pengikut setia @FPIYeah. Mungkin caranya cocok buat sebagian orang, tapi enggak cocok sama gue. Kelakuan yang setali tiga duit ini, disadarin atau enggak, cepat atau lambat, bakalan jadi gelindingan bola salju yang semakin masif yang ngebahayain struktur tatanan masyarakat. Ffiuh…! *jha2010

Privacy-nya Celebrity


Follow m_syahreza on Twitter


Pagi-pagi waktu itu buka Twitter awalnya heran kok orang-orang pada ngomongin Luna Maya (FYI, I don’t follow her!). Terus karena penasaran, gue scrolling timeline, sampe bawah dan sampe bawah lama-lama kening mulai berkerut, bibir mengerucut, keringat bercucuran, air mata berjatuhan, air kencing berleleran… Shock setengah mati, menerima kenyataan mantan pacar gue sama pacar barunya lagi kena masalah soal video mesum a.k.a vulgar a.k.a porno. Yes, gue refresh lah timeline gue dan banjirlah itu tweet-tweet soal rekaman gambar panas yang perankan Ariel dan Luna Maya. Isinya macem-macem. Mulai dari ungkapan keprihatinan, kasian, sampe cibiran dan penghinaan. Beranak-pinak lah itu para polisi moral secara sporadis (entah itu di Facebook, Twitter atau Tv) yang dengan membabi-buta memojokkan kedua artis papan atas tersebut. Bahkan ada boikot segala di infotainment dengan tidak menyebut nama Luna Maya dan diganti dengan sebutan ‘Kekasihnya Ariel’.

Sepertinya kurang fair kalo gue enggak download videonya untuk sekedar memastikan pemerannya beneran Ariel-Luna atau bukan. Dengan kecanggihan teknologi bernama Jejaring Sosial, akhirnya ada lah temen yang kasih link videonya ke gue. Tapi jujur aja, sampe detik gue nulis ini gue belom nonton videonya. Buat apa, toh di infotainment diputar juga kok cuplikannya (sebelum akhirnya KPI melarang TV menayangkan cuplikan video tersebut). Iya sih, agak mirip Luna sama Ariel. Tapi bukan urusan gue nge-judge apa-apa tentang mereka. Menurut gue, apa pun itu pasti ada pertanggungjawabannya, baik itu di mata hukum, di mata masyarakat dan di mata Tuhan, mungkin juga di Mata Najwa (who knows?)

Di mata masyarakat, langsung dibayar kontan. Semua orang sudah menghukum mereka dengan caranya masing-masing. Lalu bagaimana pertanggungjawaban mereka di mata Tuhan? Gue yakin mereka bukannya enggak tau soal konsekwensi di pengadilan Tuhan kelak, tapi ya udahlah ya, itu sih urusan masing-masing. Tapi yang bikin miris, ada deh itu segelintir orang yang maju di barisan depan berkoar-koar soal moral bahkan berniat mengadukan persoalan video itu ke Kepolisian. Gue langsung geleng-geleng kepala, prihatin. Belum lagi prihatin ngeliat kelakukan artis-artis mesum, eh ditambah lagi prihatin sama kelakukan para moralis itu.

Besoknya, seharian enggak buka-buka Twitter atau Facebook, pas malemnya gue cek, tarrraaa… Ariel Peterporn jadi trending topic aja lho! Tadinya gue pikir pasti ini masih berkaitan dengan video skandalnya sama Luna Maya, tapi ternyata gue salah. Ada salah satu tweet kira-kira bilang gini, “Posisi Cut Tary di TT (Trending Topics , red) tergeser sama Ariel Peterporn…” Gue bingung dong ceritanya, lho ada apa ini, kok pake Cut Tary segala? Kebingungan ini gue lemparlah ke Twitter dan Facebook. Untung ada temen yang langsung nge-respons status gue di Facebook dan ngasih tau kalo telah beredar (lagi) video skandal Ariel tapi bukan dengan Luna Maya melainkan dengan (sumpah beneran) artis idola gue, Cut Tary. Gue bukan shock lagi, masih enggak mencret-mencret aja udah mending. Dengkul gue lemes aja lho. Seriously! Sampe pagi-pagi gue cerita ke ade gue dan dia cerita gimana kronologisnya kehebohan Cut Tary di Twitter kemaren itu, gue masih enggak bisa percaya kalo Cut Tary ngelakuin itu. Lha, dia kan udah punya anak dan suaminya ganteng pulak! Kalo sampe bener itu Cut Tary, ngehek banget tuh artis! Punya suami baek dan keluarga harmonis masih aja nakal di luar rumah…

Tapi ya udah lah ya, itu kan privacy mereka. Toh, mereka mau jungkir balik juga, kita masih enak makan enak tidur, kencing lancar boker lancar. Iya, enggak? Eits, tapi ternyata soal privacy enggak sesederhana makan-minum atau kencing-boker, lho. Setelah gue renungkan dengan seksama, ternyata persoalan kasus ini menyentil banyak aspek. Mulai dari aspek hak asasi, moral, privacy, ke-vulgar-an, hukum, agama sampe ke aspek sosial. Dari kesemua aspek itu, yang paling menggelitik gue adalah mengenai batasan vulgar itu sendiri.

Temen gue bilang, sesuatu itu dikatakan vulgar atau bukan, porno atau enggak itu harus diliat dari ukurannya. Entah ukuran apaan, sampe sekarang gue belom dapet jawaban yang jelas dari dia. Tapi menurut gue, vulgar itu adalah aspek yang enggak pernah dan enggak mungkin pernah terlepas dari kehidupan manusia. Setiap hari, orang-orang telanjang, emang itu bukan vulgar? Lalu di mana sebenernya letak batasan vulgar itu sendiri? Letaknya adalah saat aktifitas privat (telanjang, bercinta, dan lain-lain) itu disaksikan, dinikmati, didokumentasikan dan dimasukkan ke ranah publik oleh orang lain. Maka vulgar yang harusnya menjadi barang pribadi tiap orang dan kemudian menjadi barang publik yang bisa dinikmati orang lain, itulah yang menjadi masalah sebenarnya. Bahkan bisa menjadi isu nasional. Orang tua resah anak-anaknya men-download video-video tersebut. Efek terparah adalah, terbentuk mindset pada anak bahwa apa yang diperbuat idola-idolanya itu adalah hal yang wajar dilakukan, dan kalau enggak melakukan apa yang diperbuat artis-artis itu, enggak keren. Anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kian permisif, individualistis dan memiki persepsi yang salah mengenai arti privacy.

Banyak yang nanya, perlukah pelaku dalam video itu dijerat hukum? Harusnya, perlu. Ini untuk ngasih efek jera buat mereka-mereka yang akan atau yang sudah berbuat asusila di depan kamera apalagi dengan sengaja menyebarluaskan rekamannya tersebut. Emang bener, melakukan seks di luar nikah itu hak individu masing-masing. Emang bener, merekam aktifitas seksnya itu adalah hak si pelaku. Tapi akan jadi persoalan, kalo ternyata dalam hukum positif negara kita ada pasal bagi mereka pelaku zina. Dan terlebih-lebih sudah pasti jadi persoalan, kalo aktifitas seksual yang direkam itu masuk ke ranah publik dan dapat dengan mudah diakses khalayak banyak tanpa batas kelas dan umur.

Bayangin aja, seminggu belakangan ini orang-orang di kantor, kampus sampe ke sekolah-sekolah tingkat menengah bahkan tingkat dasar, mereka sibuk mencari video cabul tersebut, menontonnya dan membicarakannya di mana-mana. Ini jelas satu lagi yang membuat prihatin. Sudah sebegini bobroknya kah realitas bangsa kita? Yang artis enggak bisa jadi contoh dan panutan, yang orang awam terlena dan terbuai sama hal-hal yang enggak penting dan cenderung merugikan itu. Potret suram kondisi masyrakat kita sudah pada taraf mengkhawatirkan dan ini enggak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Hukum harus ditegakkan, bagi siapa aja yang terlibat. Entah itu pelaku atau yang menyebarkannya.

Dari kacamata moralitas gue yang dangkal, gue menduga bahwa mereka akan terlepas dari jerat hukum negara ini. Tapi seyakin-yakinnya, mereka enggak akan sanggup melarikan diri dari jerat hukum akhirat kelak. Sorry kalo gue agak moralis, tapi ini tanggapan dari sisi keimanan gue yang meyakini akan adanya hari akhir.

Mereka, di dunia ini bisa saja menuhankan apa pun termasuk privacy. Atas nama privacy mereka merasa berhak melakukan apa pun, termasuk tindakan asusila dan membungkam orang-orang yang mencibir kelakuan mereka dengan dalih apa yang mereka perbuat merupakan ranah pribadi yang orang lain enggak berhak ikut campur. Itu terserah mereka. Toh, mereka itu kan selebriti. Apa aja, demi menjaga reputasi dan citra baik, rela menuhankan segala bentuk dalih termasuk jawaban berupa ‘privacy’ itu sendiri seakan-akan Tuhan enggak pernah bisa masuk ke ranah privacy mereka. Di titik ini sebenernya yang bikin gue prihatin. Nafsu yang enggak terkendali justru menjerumuskan mereka pada derajat ternadir di mata publik. Sebenernya, tanpa perlu diberi hukuman dari hukum negara ini atau tanpa perlu menunggu datangnya hari akhir dan menerima hukum setimpal dari Tuhan, Tuhan udah terlebih dahulu menurunkan hukuman buat mereka dengan cara seperti ini. Video yang mereka kira privacy, dengan kerja Tuhan yang sulit dimengerti, beredarlah rekaman mesum tersebut. Cibiran dan hinaan menderas kepada mereka, karir mereka dipertaruhkan, nama baik mereka dan keluarganya jadi tercemar dan segala macam efek samping negatif lainnya sudah menjawab bahwa Tuhan sebenernya sudah menyelinap masuk tanpa mereka sadari ke dalam ranah yang katanya privacy itu.

Privacy-nya selebriti udah menghancurkan martabat negeri, merusak fantasi anak-anak bangsa dan merendahkan nilai-nilai luhur kultur ketimuran. Prihatin kah kita? Seharusnya iya.

Sekali lagi, itu pandangan dangkal dari sisi moralitas gue, yang gue yakin setiap orang punya standar nilai moralnya masing-masing dan kita diwajibkan untuk menghargai setiap standar nilai moral yang bisa saja berbeda-beda satu sama lain itu.

Keesokan harinya, setelah ngumpulin semua video-video tersebut yang udah gue download gue tonton buat membuktikan dan menguatkan penilaian gue lalu gue delete permanently dari hard disk laptop tanpa tersisa. Buat apa, video-video itu toh bukan barang privacy gue. Gue sebenernya enggak berhak nonton apa yang bukan punya gue karena sama aja itu kayak pencurian atas barang privat seseorang. Biarinlah selebriti hidup dengan privacy yang dianutnya, kita yang orang awam cukup menikmati karya mereka dan bangga dengan prestasi yang pernah mereka ukir, sehingga dengan demikian gue berharap kita bisa memandang persoalan Ariel-Luna-Tary sebagai bahan introspeksi kita masing-masing untuk menuju pendewasaan pribadi yang sebenernya jauh lebih penting dari pada sekadar mencari-cari siapa yang salah. *jha-2010

Ketika Hati Berceloteh

Follow m_syahreza on Twitter

Disadari atau tidak, hati jauh lebih banyak berceloteh daripada mulut. Jangan tanya kenapa, karena memang aturannya begitu. Di dunia nyata, mulut diatur oleh norma, hukum (hukum positif, adat atau agama) dan jenis peraturan lainnya. Sedangkan di dunianya nun jauh di dalam sana, hati tidak punya peraturan khusus yang mengatur apalagi membatasinya berceloteh. Dia bisa seenak-enaknya menyumpah-serapahi orang lain tanpa orang yang disumpah-serapahi itu tahu. Hati bisa mengumpat dengan kata-kata paling kotor dan paling kejam sekali pun. Ia sangat leluasa mengkritik siapa saja tanpa harus takut dipersalahkan. Hati bisa memuji seseorang ‘spatially’ tanpa orang yang dipuji mengetahui dirinya sedang dipuji. Hati bisa menghina, menfitnah, menjelek-jelekkan orang lain entah dengan nada suara yang keras atau pun lembut dan sekadarnya saja. Hati bisa meneriakkan kata cinta dengan lantang tanpa didengar oleh orang yang diam-diam kita cintai.

Bisa dibayangkan apabila kritikan, umpatan dan hinaan itu sampai keluar dilontarkan oleh mulut. Setumpuk hukum dan peraturan sudah menanti, siap dijatuhkan kepada si empunya mulut tersebut. Mulai dari pasal pencemaran nama baik sampai pasal perbuatan tidak menyenangkan. Itulah dia sebabnya, banyak orang yang menekan keinginannya untuk berceloteh dengan mulutnya dan memilih hanya berceloteh dalam hati saja. Acap kali, demi terhindar dari labelisasi ‘tidak bisa menjaga mulut’ dari masyarakat atau hukuman moral dari lembaga hukum, orang-orang memilih memperhalus kata-katanya, mengeluarkan kata yang manis-manis dan menyenangkan orang lain saja, bahkan sampai mengaburkan kebenaran demi kepentingan tertentu dan menyangkal celotehan hati yang bisa saja lebih jujur dan tulus dalam bersuara.

Celoteh hati harus didengar aspirasinya. Ia harus mendapatkan tempat yang pantas untuk didengar, disimak dan dipedulikan. Setidaknya oleh diri kita sendiri.

Jangan pernah mengabaikan celotehan hati, karena ketika hati berceloteh sesungguhnya dia tengah mengutarakan sesuatu yang bisa jadi benar adanya. Karena ketika hati berceloteh, ia hendak menyuarakan kejujuran tanpa diselubungi tendensi atau pun kepentingan (khususnya yang pragmatis). Kita bisa belajar jujur dari hati yang gemar berceloteh. Padanya, pada suara-suara yang kita kira tidak jelas ujung-pangkalnya di dalam hati, kita bisa bercermin seberapa jernih diri dan pikiran kita.

Selamat berceloteh para hati. Selamat menyuarakan yang jujur-jujur saja secara apa adanya…!

*jha-2010

Tuesday, June 22, 2010

Santai Produktif Ala Gue


Follow m_syahreza on Twitter

Secangkir kopi Indocafé hangat sama Oreo berapa biji udah sangat efektif bikin otak gue encer. Diminumnya juga harus santai, enggak boleh terburu-buru supaya ide-ide dalam kepala mengalir lancar tanpa harus dikejar pretensi dan ekspektasi yang muluk-muluk.

Ternyata, untuk produktif itu enggak boleh ada beban. Harus dijalani dengan santai, supaya hasilnya maksimal dan monumental. Bayangin aja, sebuah mahakarya bisa tercipta hanya dari cara-cara yang ringan dan sederhana. Memandang arti keberhasilan cukup dengan kacamata realistis aja, enggak perlu pake sudut pandang ala pemimpi ulung tapi pecundang dalam lakon. Yang penting menikmati proses produksi ide dengan jalan kesenangan bukan dengan beban apalagi tekanan.

Aaah, seruput lagi kopi hangatnya! Mari berkarya sambil ditemani sahabat setia, cangkir berwarna gading dan Oreo beberapa keping…

Hidup Bahagia Itu Ternyata Sederhana


Follow m_syahreza on Twitter

Enggak perlu resep ribet njelimet cara gue membahagiakan diri gue sendiri. Mungkin orang-orang meletakkan standar kebahagiaannya dengan sesuatu yang mahal, mewah dan prestisius, tapi enggak dengan gue. Eh, tapi bukan berarti gue enggak suka sama yang mahal-mahal, mewah-mewah dan yang prestisius ya. Gue suka banget barang-barang mewah dan mahal, apalagi kalo dikasih gratisan :p

Einiweiy… gue mungkin orang yang terlalu sederhana mendefinisikan kebahagiaan. Saking sederhananya, sampe-sampe banyak orang mengira hidup gue enak, lempeng-lempeng aja (bahasa bakunya, lempang a.k.a lurus), enggak ada beban, nrimo dan legowo menghadapi kehidupan. Padahal, heeey! Halooo… siapa bilang??? Hidup itu di mana-mana sama. Keras, susah, terjal, ribet, riweuh (apa lagi?) dan penuh perjuangan! Masalahnya tinggal di kitanya aja gimana memandang kehidupan dan menyiasati kesulitan dalam hidup. Di sini dituntut kekreativitasan kita dalam menjalani kehidupan. Kuncinya: Kita sendiri yang tahu bagaimana membahagiakan diri kita sendiri. Coba cari tau, tanya dalem hati apa sebenernya yang bisa bikin bahagia. Gue mendefinisikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang enggak boleh diharapkan datangnya dari orang lain, enggak boleh ribet (gue orangnya anti ribet tegangan tinggi), memudahkan gue untuk bersyukur dan bisa dinikmatin bersama-sama. Itu bahagia menurut gue.

Contohnya aja soal makan. Gue doyan kok makanan yang kelas sosialnya tinggi kayak makanan Eropa, Amrik atau Jepang (apalagi kalo ditraktir). Tapi jujur aja, itu enggak terlalu efektif bikin gue jadi gampang bersyukur sama Tuhan. Yang ada gue jadi sedikit sombong karena ngerasa udah bisa makan makanan yang mahal, yang belum tentu orang lain bisa kayak gue. Tapi bagusnya, gue jauh-jauh-jauh lebih seneng makan makanan yang sederhana aja yang bisa dimakan tanpa sendok, garpu atau pisau. Cukup pake tangan yang dicuci bersih pake sabun antiseptik, makannya nge-riung sama keluarga atau sahabat-sahabat, menyantap nasi panas yang asapnya masih ngepul, sambel bawang putih (resepnya sederhana banget: Cabe rawit setan beberapa biji, bawang putih 2 (dua) siung sama garam. Ditambah minyak goreng panas bekas ngegoreng ikan asing seseleranya aja), ikan asin cuex sama tahu Bandung goreng. Gue jadi lebih gampang mensyukuri nikmat dengan makan makanan seperti itu tanpa harus merasa ‘lebih’ dari orang lain. Satu lagi yang penting, gue juga jadi jauh lebih menikmati hidup kalo udah kekenyangan gara-gara makanan kayak gitu.

Itu baru soal makan. Pilihan yang sederhana, ternyata jauh lebih gampang dinikmati. Enggak perlu repot-repot menggantungkan ekspektasi dalam hidup pada skala yang sulit terjangkau, makan makanan dengan menu sederhana tapi kalo ternyata emang itu caranya bikin elo bahagia, just do it! Toh, setiap orang punya formulanya sendiri-sendiri dalam ngerumusin kebahagiaan. Tinggal gimana kitanya aja merumuskan formula kebahagiaan yang pas buat diri kita sendiri. Dan kalo udah tau gimana caranya menikmati hidup, jalan menuju kebahagiaan jadi lebih sederhana, kesulitan dalam kehidupan kayak apaan juga bisa disikapi secara santai kayak di pantai…

Selamat menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan..

Paling Enak Maen Di Pojok

Follow m_syahreza on Twitter

Emang paling enak maen di pojokan. Sambil ngerokok sebungkus rame-rame, pletokan (anggur merah dicampur Buavita atau Root Beer) ditemenin lagu-lagu yang diputer dari salah satu handphone peserta ‘Genk Pojokan’. Biasanya R ‘n B alias Riang dan Bergoyang… dangdut koplo! Serius deh. Tapi bukan itu esensi yang mau dibahas di sini. Tapi konten obrolan di pojokan itu yang sering di luar perkiraan. Di sela-sela candaan konyol, terselip sindiran sarkastik bermuatan politis, mulai dari mengkritik kebijakan pemerintah sampe isu-isu hangat internasional seperti konflik Timur Tengah atau perang saudara di semenanjung Korea. Enggak jarang juga, bahan obrolan kasualnya sangat inspirasional. Justru dengan dibawa secara nyantai itulah, pesan-pesan inspiratif itu jauh efektif lebih menyerap dari pada disampaikan dalam seminar-seminar motivasi yang suka ada di tv atau kampus-kampus.

Kalo maen di pojok, duduknya boleh bebas. Jongkok, rebahan, nungging, split, koprol, ngangkang, sikap lilin sampe kayang sah-sah aja. Enggak perlu pake kemeja dan celana bahan katun warna gelap segala. Mau pake celana jeans, boleh. Pake celana kolor, enggak apa-apa. Sarungan, silahkan. Bahkan enggak pake apa-apa, juga enggak ada yang ngelarang. Toh, lagi di pojokan ini. Semua hukum enggak berlaku, kecuali hukum ‘Nyantai’. Kalo enggak nyantai, enggak boleh maen di Pojokan.

Terus, apa dong tujuannya mojok di Pojokan? Ya elaaah, pulang ngampus, kan otak panas. Pulang kerja, kan badan pegel-pegel (untuk yang kerjanya ngaduk semen), pulang dari pengajian kuping berasa pedes, pulang dari mana-mana asal bukan berpulang ke Rahmatullah aja, ya refreshing-nya lari dari kenyataan kabur ke Pojokan aja. Kita ngobrol-ngobrol santai melepas kepenatan, ngelupain tugas-tugas kuliah yang segudang, minggirin ketikan skripsi sebentar, tinggalin berkas-berkas kantor dan deadline-deadline, terus maen-maen deh di Pojokan. Niscaya, kepenatan dan kejenuhan yang menghantui sehari-hari akan segera kabur meninggalkan Anda *halah*.


Selamat bermain di Pojokan. Pokoknya, enggak ada tempat paling nyantai di dunia ini senyantai Pojokan. Harapannya sih setelah keluar dari Pojokan, akan ada yang bergumam pelan mengatakan, “Emang paling enak maen di pojok!”

Friday, June 18, 2010

Peceloteh teh naon, Teh?


Follow m_syahreza on Twitter


“Hah? Apah? Pecel (nadanya nyinyir gitu)? Kok, pake Lotek segala?”
“Pecel, pecel. Lotek, lotek. Kenapa dicampur sayur lodeh?”
Atau,
“Mau elo apaan sih, ngasih nama blog pake nama makanan? Mau bikin blog resep masakan?”

Ih, miris deh denger komentar-komentar orang pas gue sodorin nama blog baru gue. Miris karena, kasian aja sama mereka enggak stay updated sama kosakata bahasa Indonesia paling mutakhir. Saking repotnya ngejelasin satu per satu, mau itu via DM di Twitter. Chatting di Facebook, telepon atau SMS—malah ada yang kurang waras nelepon jam 2 pagi-pagi buta cuman mau ngomentarin nama blog gue yang katanya kurang bawa hoki—akhirnya, gue masukin aja deh semacam disclaimer yang gue catut dari dua kitab keramat (kitab Kamus Besar Bahasa Indonesia sama Kamus Mini Orang Indonesia karangan gue sendiri) di halaman muka blog gue, biar semua orang yang dateng enggak usah bingung dan bertanya-tanya lagi makhluk jenis apakah gerangan Peceloteh itu? Kata orang-orang tua, nama adalah doa. Bener, gue setuju. Tapi gue setuju sama pendapat orang paling bijak sedunia, yaitu gue sendiri, yang menganggap nama adalah ujung tombak penjualan, hidup-matinya marketing, lokasi susuknya penari ronggeng atau tahi lalatnya Rano Karno. Nama harus unik dan gampang diingat, punya daya pikat sekaligus memiliki daya magis yang membuat siapa aja jadi penasaran. Apa sih Peceloteh itu sebenernya? Sumpah, ini enggak ada hubungan darahnya sama sekali dengan makanan-makanan enak khas Indonesia yang disebut-sebut di atas tadi. Pecel, lah. Lotek, lah. Sampe, sayur lodeh, lah. Enggak, sama sekali enggak ada hubungan apa-apa antara nama blog gue dengan mereka-mereka itu selain temen biasa aja. Awalnya, gue cuman bingung aja mau kasih nama apa soalnya semua nama yang ditawarkan otak gue udah disamber sama orang. Celotehati, udah dipake seenggaknya di 3 (tiga) web penyedia layanan blog gratis. Begitu halnya dengan Berceloteh atau Celoteh aja, semuanya udah diembat sama orang. Pikir punya pikir, setelah merenung lama sambil puasa semalem suntuk, akhirnya akal gue menyodorkan sebuah nama yang agak beda dan sangat Indonesia sekali. Karena, gue nyari-nyarinya sampe buka Kamus Besar Bahasa Indonesia segala. Yeah, walopun emang enggak ada juga kata Peceloteh di Kamus, tapi gue masih menggunakan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang baku, baik dan benarrrr! Awalan ‘Pe-‘ di depan kata celoteh menunjukkan subjek. Jadi kalo digabungin, Pe-celoteh artinya ya kira-kira orang yang berceloteh atau orang yang suka berceloteh. Gitu lho, bro and sis. Enggak ada hubungannya tuh sama Pecel apalagi Lotek walopun sebenernya isi blog ini juga udah kayak pecel atau lotek yang campur-campur. Dan gue harap enggak ada lagi tuh yang pas denger kata Peceloteh langsung mengernyitkan kening sambil agak teriak bilang, “Apah? Pecel Lonte?!!” Yang disajiin oleh Peceloteh harapannya sih lebih enak dari pecel, lebih ngenyangin dari lotek. Ngomongnya juga harus sambil sepintas lalu atau boleh juga ngalor-ngidul. Tapi ngalor-ngidul juga bukan sembarang ngalor-ngidul. Ngalor-ngidul ala Peceloteh harus jujur menyuarakan kebenaran dan kata hati. Harus ada isi, nilai dan menginspirasi juga. Terserah deh, ngomongnya enggak jelas mana ujung mana pangkal, yang penting hati senang riang gembira tanpa beban dalam dada. *Halah!* So, are you Peceloteh enough? *jha-2010

Thursday, June 17, 2010

Pindahan

Follow m_syahreza on Twitter

Ngeboyong keluarga besar Peceloteh dan Pojokan untuk mengungsi di rumah saya yang baru. Bukan sekadar mengungsi sebenarnya, tapi diharapkan untuk kerasan bernaung di rumah barunya ini. Rumahnya memang sederhana, tapi kaya akan cinta dan kejujuran. Di setiap sudutnya ada inspirasi.

Semoga, bukan hanya Peceloteh dan Pojokan saja penghuninya. Saya senantiasa 'open house' bukan cuma di hari Lebaran saja, siapa pun boleh singgah, melihat-lihat membaca apa yang disajikan...

Harapan saya pada rumah baru ini, semoga nasibnya enggak sama dengan rumah-rumah saya yang lain. Penuh sampah keluhan dan polusi caci-maki.

Selamat menikmati rumah ini. Semoga nyaman.. :) *jha2010