Advertise Your Business Here

Wednesday, July 14, 2010

Main Dengan Sepupu Sendiri

Follow m_syahreza on Twitter

Kain Ratih tersingkap hingga menampakkan pahanya yang mulus, putih bersih. Tubuhnya basah seperti habis mandi. Dia sudah tidak peduli dengan keadaannya sekarang walau pun sesekali dia mengawasi keadaan sekitarnya, takut-takut ada orang yang mengintipnya sedang dalam keadaan setengah telanjang seperti ini.

Tanpa diduga-duga, tiba-tiba sosok Mbak Ningsih sudah ada di belakangnya. Langsung menyerbunya dengan membabi-buta, seolah tidak rela melepaskan Ratih yang terkejut setengah mati atas kelakukan kakak sepupunya itu. Tangan Mbak Ningsih gesit, dari sela-sela tubuh Ratih dia sudah bisa mengendalikan permainan. Sungguh lihai tangan Mbak Ningsih meremas dan memilin, sesekali dengan tenaga yang kuat hingga Ratih berteriak di luar kendali. Teriakan Ratih malah membuat Mbak Ningsih semakin nekat untuk berbuat lebih. Dibawah kucuran air,
Mbak Ningsih terus mencari-cari letak sesuatu yang tersembunyi yang bahkan Ratih pun tidak tahu di mana letaknya. Saat Mbak Ningsih menghentikan tangannya yang bergerilya di bawah sana, Ratih turut menahan nafasnya, menunggu apa yang akan diperlakukan Mbak Ningsih terhadap dirinya. Sepertinya Ratih sudah terlanjur menikmati semua ini. Rasa letihnya meski berangsur-angsur berkurang, tapi tidak terlihat jelas kepuasan di matanya. Ratih merasa kurang. Dia ingin lebih dari Mbak Ratih.

Ditariknya tangan Mbak Ningsih ke tempat yang semula tadi, seketika senyuman merekah dari bibir kecil Ratih. Wajahnya berbinar sumringah bersamaan dengan suara-suara nakal Ratih, terlebih waktu Mbak Ningsih menunjukkan noda spidol di kentong kemeja suaminya, Mas Danang.

“Ini lho, Tih, nodanya. Masa’ dari tadi kamu tidak melihatnya?” Mbak Ningsih beranjak dari tempatnya.

“Iya, Mbak, Aku tidak melihat, aku pikir sudah bersih semua,” sahut Ratih sambil tersipu malu.

“Iya, tidak apa-apa. Kamu selesaikan lagi mencucinya, habis itu keringkan dan jemur di belakang ya, Tih.”

Ratih mengangguk sambil mengulum senyumnya yang manis. Tangannya kembali mengucek kemeja putih yang ada noda spidol di bagian sakunya itu.

*jha2010

Rengkuhan Mas Danang

Follow m_syahreza on Twitter

Angin malam yang dingin menusuk tulang tidak menyurutkan gelora Ratih yang sudah menggebu-gebu. Nafas Ratih terengah-engah, di bawah kekuasaan sorot mata yang berkilat penuh nafsu Mas Danang, Ratih dengan wajah menggodanya membuka satu per satu kancing kebaya tipisnya yang sudah dibasahi keringat.

Mas Danang pun tidak kalah bernafsu. Dipegang erat pundak Ratih, mencengkeram penuh tenaga. Dengan sedikit memaksa Ratih membawanya ke ranjang. Mas Danang membantu melepas kebaya Ratih dengan agak kasar, dilemparnya kebaya biru Ratih ke atas lantai. Nafas mas Danang pun jadi semakin cepat. Dorongan dalam dirinya begitu besar, hingga ia seperti hilang kendali. Tubuh Ratih dicengkeram kuat dengan tangannya yang berotot itu. Dia semakin terbakar, sekujur tubuhnya kini juga bermandikan keringat. Pantulan cahaya lampu di luar kamar yang redup, membuat tubuh kekarnya berkilau menggairahkan. Darahnya berdesir cepat tiap kali melakukan gerakan-gerakan erotis itu terhadap Ratih.

Diperlakukan demikian, Ratih semakin keblingsatan. Ratih merintih kesakitan, tapi tidak berapa lama rintihannya berubah menjadi desahan nikmat. Ratih melenguh dengan suara manja khasnya itu, yang membuat Mas Danang semakin keras meneruskan permainannya. Dari bibir mungil Ratih yang berwarna merah mudah keluar erangan pasrah atas perlakuan Mas Danang.
Tubuh Ratih menggelinjang hebat, meliuk-liuk seperti ular dalam rengkuhan pria berkumis tipis itu. Sesekali dia menggit bibirnya, menahan rasa sakit.

“Sudah, Mas. Aku sudah tidak kuat lagi,” desah Ratih disela-sela nafasnya yang basah.

“Sebentar lagi, Ratih. Tahan ya, sedikit lagi,” bisik Mas Danang lembut di telinga Ratih.

“Tapi, Mas…” Ratih menutup matanya, manahan rasa sakit akibat permainan Mas Danang. “Aku… Aku… sudah merasa enakan, kok.”

Mas Danang menyudahi permainannya. “Kamu yakin, Ratih, sudah hilang masuk anginnya?”

Ratih mengangguk lemas. Senyum manisnya mengembang. “Mas Danang memang hebat. Besok-besok kalau aku masuk angin, Mas Danang kerok aku lagi ya?”

“Iya, Ratih.”

“Terima kasih, Mas Danang.”

*jha2010

Friday, July 2, 2010

Semua ‘Gara-gara Memperpanjang STNK’

Follow m_syahreza on Twitter


“... kemana aja, saya mau anter A' Ghaza. Kapan aja Aa butuh ditemenin, saya bersedia. Tapi jangan minta saya untuk suka sama perjalanan nasib saya yang sekarang baru ditemuin sama Aa..."


"Kalo gitu, ini kesalahan saya yang paling fatal, Pak. Terlalu jujur soal perasaan saya ke Bapak..."

Kutipan di atas diambil dari cerita panjang yang gue tulis tahun lalu dan di posting di sebuah forum komunitas yang judulnya “Gara-Gara Memperpanjang STNK (Inspired by True Event)”. Well, sebenernya yang melatari gue nulis cerita itu berangkat dari tantangan pribadi untuk menguji kemampuan menulis gue, di luar kebiasaan dan gaya nulis gue yang biasanya. Sebuah cerita bersambung, kisah percintaan sederhana aja sebenernya yang sedikit dibumbui gaya nakal ala stensilan berlatar sebuah tempat di pesisir Kabupaten Lebak-Banten.
Sejujurnya, enggak pernah sekali pun berharap cerita yang gue buat itu akan diminati dan dapet sambutan sedemikian di luar perkiraannya. Pertama posting aja banyak yang komentar-komentarnya bikin gue down dan enggak bersemangat nerusin ceritanya.

“Gara-gara Memperpanjang STNK” ini enggak bisa dikatakan sebagai kisah nyata atau diangkat berdasarkan pengalaman nyata penulisnya. Makanya, gue kasih penjelasan di belakang judulnya, “Inspired by True Event”, yang kira-kira maksud gue adalah bahwa cerita yang gue tulis ini merupakan perkawinan antara beberapa kejadian nyata yang bisa jadi satu sama lain enggak berhubungan tapi masih sejalan dari sudut pandang tema dengan imajinasi gue sendiri. Tokoh-tokohnya real, tapi waktu dan setting kejadian mengalami penyesuaian demi memenuhi tuntutan etika dan estetika penulisan. Mungkin itu dia sebabnya, kenapa gue dibilang lebay dan dianggap mengada-ada. Padahal sebenernya udah gue jelasin di pertengahan postingan cerita gue itu sebagai bentuk dari klarifikasi bahwa ada perbedaan antara ‘based on true story’ dengan ‘inspired by true event’, tapi masih aja masuk komentar-komentar sumbang entah itu dari forum langsung, tweet atau DM di Twitter. It’s okay, menurut gue itu merupakan kritikan membangun supaya gue jadi lebih baik lagi ke depannya. Tapi herannya, walaupun banyak yang berkomentar sumir, total ‘view’ thread gue justru tertinggi dibandingin cerita-cerita lain dan sampe gue posting blog ini belom ada yang menggeser posisi “Gara-gara Memperpanjang STNK”.

Ada yang lebih menyenangkan gue dari pengalaman posting cerita yang gue bikin itu di forum dari sekadar total ‘view’ tertinggi tersebut, yaitu gue nambah temen-temen baru yang baik, seru dan asyik-asyik. Honestly, tanpa mereka yang mengapresiasi karya gue, mungkin gue udah drop dan enggak bersemangat nulis cerita lagi. Mereka yang selalu menyemangati gue untuk terus berkarya, nulis dan nulis lagi. Dan mungkin untuk sementara, tulisan yang gue buat enggak kayak “STNK” lagi karena masih disibukkan dengan urusan-urusan lain. Paling-paling gue masih nulis di ‘notes’ Facebook, nge-tweet yang seru-seru, nge-blog atau update status yang sekiranya masih bisa dinikmatin lah sama mereka, penyemangat gue itu. Sebenernya, gue udah mempersiapkan cerita baru yang judulnya “Merah Muda Ibukota”. Pertama kali diposting, responnya lumayan positif, tapi sayang cerita ini memerlukan riset segala, jadinya gue belom berani posting lagi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, “Merah Muda Ibukota” udah bisa dipublish.

Satu lagi yang enggak gue sangka-sangka gara-gara si-STNK ini adalah ternyata cerita STNK ini bersama-sama dengan Merah Muda Ibukota, Meunasah Asmara dan Simulacrum akan dimasukin ke dalam sekuel novel “Siléncio Absoluto” yang insya Allah bisa cepet-cepet dicetak dan diterbitin ke pasaran. *Doanya, ya…*

Di samping itu, STNK jujur aja udah mengubah banyak hal dalam hidup gue. Tokoh-tokoh yang ada di dalamnya pun dalam kesehariannya mengalami perubahan juga. Yah, itulah hidup, senantiasa berubah. Harapannya, perubahan apa pun itu semoga perubahan ke arah yang lebih baik.

Ada yang lucu gara-gara gue nulis tentang STNK ini. Banyak pembaca yang tergila-gila sama beberapa tokoh di dalam cerita, bahkan ada yang sampe minta dikasih liat fotonya segala. Gue sampe kelimpungan juga nurutin permintaan para pembaca tersebut yang membanjiri Twitter gue. Akhirnya ada lah itu satu orang yang jadi favorit pembaca yang gue paksa untuk bikin akun di Twitter juga supaya bisa memenuhi permintaan-permintaan penggemarnya. Sayangnya, mungkin karena kesibukannya yang luar biasa, dia enggak bisa sepenuhnya ngejawab pertanyaan dan permintaan orang-orang. Lagian gue kasian juga, gue yang bawa-bawa nama dia, eh malah dia yang enggak tau apa-apa jadi ikut-ikutan repot.

Anyway, apapun itu, di sini gue mau ucapin terima kasih sebanyak-banyaknya buat yang udah rela sempet-sempetin baca, kasih komentar, saran dan kritik serta apresiasinya. Dalam waktu dekat, mudah-mudahan “Gara-gara Memperpanjang STNK” versi PDF yang udah diedit dan pastinya lebih rapi ketikan dan gaya tulisannya, akan rampung dan segera dibagi-bagi secara gratisan sebagai bentuk ucapan terima kasih gue. Iya, sekaligus ‘teaser’ lah buat novel gue .

Special thanks to Edu, Haris, Yoga dan nama-nama lain yang enggak mungkin kali disebutin satu per satu. Pokoknya, you rock Guys! *jha2010

Think Freely, Speak Loudly and Act Respectably! (Part 1 – Islam Dan Semangat Liberalismenya)

Follow m_syahreza on Twitter
Sebelumnya saya mau mengatakan apa yang melatari penulisan tulisan singkat ini. Bahwa pada hakikatnya, siapa saja yang menghendaki hatinya berkata jujur pasti akan membawa dirinya senantiasa berpihak pada kebenaran dan kebaikan. Dan sejatinya, hanya akal yang masih sehat sajalah yang mampu membuat hati dapat berkata jujur. Sejujurnya saya pastikan, akal sehat hanya akan hadir apabila ia dibiarkan berkelana mencari jati diri kebenaran sebebas-bebasnya tanpa kungkungan yang membatasi dan mengerdilkan. Inilah titik tolak saya menulis tulisan ini yang membuat saya senantiasa bergairah menyuarakan apa yang menurut saya benar dan berguna.

Berangkat dari sebuah status di Facebook yang saya update karena diinspirasi oleh isi tweet seorang intelektual muslim muda di Twitter pada suatu malam yang kemudian mendapat respon cukup menggelitik dari seorang sahabat perempuan saya yang dengan kritis menyentil idealisme pemikiran saya selama ini.

Kira-kira begini isi status saya tersebut:
“…Negara ini melindungi kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan berideologi. Tapi tidak untuk tindakan KEKERASAN. Negara harus tegas menindak perilaku buruk ormas yang melegalkan kekerasan sebagai gerakannya!!”

Dan berikut komentar sahabat saya itu:
“…Mohon maaf, menurut saya jauh lebih mencoreng Islam liberal dibanding FPI. Liberal merusak otak anda menjadi anti Quran.”

Lalu kenapa saya bilang cukup menggelitik, karena setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menjadi perhatian saya dari komentarnya tersebut sehingga saya berpikir untuk menelaahnya lebih lanjut. Pertama, mungkin sahabat saya itu hendak mengatakan bahwa pemikiran ala liberalisme patut diwaspadai dan dianggap lebih berbahaya dibanding tindakan anarkis yang dilakukan ormas sejenis FPI tetapi sayangnya tidak disertai alasan dan argumentasi serta bukti yang kuat-akurat, mungkin dikarenakan keterbatasan yang dimiliki Facebook. Kedua, sahabat saya itu telah keliru memahami bahwa dalam Liberalisme itu sendiri terdapat setidaknya 2 (dua) aliran yang berbeda dilihat dari konteks pemikirannya. Ada pemikiran pembebasan dan ada pemikiran kebebasan. Dan, lagi-lagi sayangnya, sahabat saya itu memukul rata paham yang sejatinya liberalisme itu menyemangati setiap sendi nilai-nilai keberagamaan. Lalu yang ketiga, sahabat perempuan saya tersebut mungkin lupa akan 2 (dua) hal untuk kembali menelaah nilai-nilai kandungan isi Quran dan mencari tahu lebih banyak lagi mengenai paham liberal khususnya Liberalisme Islam.

Pada konteks ini, dari awal saya menekankan isu KEKERASAN yang kerap terjadi belakangan ini, yang ironisnya hampir semua berlatar ideologi keagamaan. Untuk segala macam alasan, Kekerasan dan Anarkisme tidak pernah mendapatkan tempat di tengah-tengah perikehidupan bangsa dan masyarakat di mana pun. Ia tidak dapat diterima dan tidak pernah dapat diterima oleh akal sehat. Kekerasan hanya akan menimbulkan kerugian dan kemudharatan semata. Dan saya sungguh meyakini, tidak ada satu pun ayat di Quran yang menganjurkan umat manusia untuk berbuat pengrusakan dan anarkisme untuk apa pun alasannya. Justru Islam hadir untuk menjadi solusi dan bukan persoalan, apalagi menjadi menjadi bagian dari pengrusakan tersebut. Konsep keberagamaan dalam Islam jelas, yakni menjadi agama yang Rahmatan Lil ‘alamiin atau ‘blessing for all’ dalam bahasa awam yang mudah saya pahami.

Konsep Islam yang indah ini yang justru dilabrak habis-habisan oleh (oknum) FPI dalam hampir setiap pergerakannya. Islam menjadi tidak elok lagi bila sudah digunakan oleh FPI dalam menjalankan aksi-aksinya yang cenderung brutal dan kurang bersahabat. Citra Islam jadi tercoreng. Sudahlah Islam dianggap agama terorisme, ditambah lagi dengan perangai yang ditampakkan FPI, sungguh apa lagi yang hendak dibanggakan dari agama Islam yang hakikatnya indah dan cinta damai ini?

Yang dikatakan sahabat saya tersebut membuat saya merenung dan kembali mengkritisi idealisme saya terhadap pola berpikir saya selama ini. Jangan-jangan saya sudah terjebak pada pola pemikiran yang salah dan otak saya telah benar-benar rusak. Terlebih saya khawatir komentar sahabat saya itu benar karena saya sudah anti Quran. Perenungan saya menggiring pada realita masyarakat kita. Saya bercermin pada realitas dan di sana saya mendapat jawabannya.

Mereka yang anti liberalisme cenderung menolak dianggap konservatif, fundamentalis apalagi anti-progresifitas. Mereka lebih menyukai disebut moderat. Tapi bukan itu persoalannya. Karena memang setiap orang berhak berdiri di posisi apa pun yang menurutnya benar. Yang justru jadi persoalan adalah saat orang-orang yang beraliran konservatif dalam pemikirannya ini tidak sesuai dengan dengan semangat kekonservatifannya. Dari realitas ini saja bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat kita sedang ragu dalam menentukan identitasnya, labil dan inkonsisten. Satu contoh sederhana saja misalnya saat seseorang yang berdiri di pihak konservatif memilih untuk berpacaran dengan dalih tidak apa-apa sepanjang pacarannya tahu batasan dan tidak melanggar aturan. Padahal, orang tersebut sesungguhnya sudah menjadi liberalis tanpa dia sadari dan dipertanyakan kekonservatifan pemikirannya karena sesungguhnya dia telah ber-ijtihad untuk dirinya sendiri. Kita semua tahu, dalam ajaran Islam tidak mengenal istilah pacaran, kan?

Kalau kita memandang Liberalisme dari sudut pandang Quran, sebenarnya itu justru akan memudahkan kita dalam memahami nilai Islam yang sesungguhnya. Liberalisme tidak anti terhadap Quran. Justru semua pemikiran yang terlahir dari paham liberalisme bersemangatkan keislaman dan sama sekali tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah nabi karena memang ajaran Islam sendiri sangat membuka lebar-lebar umatnya untuk mengoptimalkan fungsi akal sehat dan hati nurani untuk bekerja mencari kebenarannya sendiri-sendiri. Liberalisme Islam sangat menentang segala bentuk kekerasan, anarkisme dan intimidasi. Setiap orang dihargai dan dijamin kebebasannya dalam memilih dan menentukan apa yang diyakininya benar selama itu mendatangkan kebaikan dan tidak merugikan orang lain. Ini jelas-jelas sejalan dengan ajaran Islam.

Liberalisme tidak pernah memelintir apalagi anti terhadap Quran, tetapi justru yang dilakukan adalah menafsir ulang kandungan Quran. Zaman berubah dan terus berubah, kalau pandangan mengenai agama tidak ikut disesuaikan, manusia hanya akan jadi makhluk usang yang terpojok dilindas zaman. Lagipula, kalau memang pemikiran liberalisme merusak otak, toh apa salahnya? Yang rusak itu kan otak sendiri, dan hal ini tentu tidak merugikan orang lain. Berbeda dengan apa yang dilakukan FPI. Mereka merusak tatanan sosial kemasyarakatan, dan banyak orang yang merugi akibat tindakannya itu. Mana yang lebih sejalan dengan ajaran Islam kalau begitu?

Maka dari itu saya menutup tulisan ini dengan satu harapan, semoga kelak di kemudian hari umat manusia semakin cerdas dalam memandang persoalan, jernih dalam menimbang dan mengambil keputusan agar tidak ada pihak yang tersakiti dan dirugikan. Untuk itu diperlukan cara berpikir yang tidak terpenjara agar bijaksana dalam melangkah dan berbicara, semangat menyuarakan kebenaran dengan suara lantang dan berperilaku beradab dengan menghormati orang lain terlebih dahulu, tidak menyakitinya serta menempatkan kepentingan bersama di atas segala-galanya. Saya meyakini satu hal, Islam dan semangat liberalismenya dapat menjadi solusi atas persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Be liberal, in a good way of course…!

Be Wise, People! *jha2010