Advertise Your Business Here

Wednesday, June 23, 2010

Ketika Hati Berceloteh

Follow m_syahreza on Twitter

Disadari atau tidak, hati jauh lebih banyak berceloteh daripada mulut. Jangan tanya kenapa, karena memang aturannya begitu. Di dunia nyata, mulut diatur oleh norma, hukum (hukum positif, adat atau agama) dan jenis peraturan lainnya. Sedangkan di dunianya nun jauh di dalam sana, hati tidak punya peraturan khusus yang mengatur apalagi membatasinya berceloteh. Dia bisa seenak-enaknya menyumpah-serapahi orang lain tanpa orang yang disumpah-serapahi itu tahu. Hati bisa mengumpat dengan kata-kata paling kotor dan paling kejam sekali pun. Ia sangat leluasa mengkritik siapa saja tanpa harus takut dipersalahkan. Hati bisa memuji seseorang ‘spatially’ tanpa orang yang dipuji mengetahui dirinya sedang dipuji. Hati bisa menghina, menfitnah, menjelek-jelekkan orang lain entah dengan nada suara yang keras atau pun lembut dan sekadarnya saja. Hati bisa meneriakkan kata cinta dengan lantang tanpa didengar oleh orang yang diam-diam kita cintai.

Bisa dibayangkan apabila kritikan, umpatan dan hinaan itu sampai keluar dilontarkan oleh mulut. Setumpuk hukum dan peraturan sudah menanti, siap dijatuhkan kepada si empunya mulut tersebut. Mulai dari pasal pencemaran nama baik sampai pasal perbuatan tidak menyenangkan. Itulah dia sebabnya, banyak orang yang menekan keinginannya untuk berceloteh dengan mulutnya dan memilih hanya berceloteh dalam hati saja. Acap kali, demi terhindar dari labelisasi ‘tidak bisa menjaga mulut’ dari masyarakat atau hukuman moral dari lembaga hukum, orang-orang memilih memperhalus kata-katanya, mengeluarkan kata yang manis-manis dan menyenangkan orang lain saja, bahkan sampai mengaburkan kebenaran demi kepentingan tertentu dan menyangkal celotehan hati yang bisa saja lebih jujur dan tulus dalam bersuara.

Celoteh hati harus didengar aspirasinya. Ia harus mendapatkan tempat yang pantas untuk didengar, disimak dan dipedulikan. Setidaknya oleh diri kita sendiri.

Jangan pernah mengabaikan celotehan hati, karena ketika hati berceloteh sesungguhnya dia tengah mengutarakan sesuatu yang bisa jadi benar adanya. Karena ketika hati berceloteh, ia hendak menyuarakan kejujuran tanpa diselubungi tendensi atau pun kepentingan (khususnya yang pragmatis). Kita bisa belajar jujur dari hati yang gemar berceloteh. Padanya, pada suara-suara yang kita kira tidak jelas ujung-pangkalnya di dalam hati, kita bisa bercermin seberapa jernih diri dan pikiran kita.

Selamat berceloteh para hati. Selamat menyuarakan yang jujur-jujur saja secara apa adanya…!

*jha-2010

No comments:

Post a Comment